ffg

Rabu, 10 Juli 2013

ASKEP Spinal Cord Injury

BAB II
TINJAUAN TEORITIS


A.    Tinjauan Teoritis Penyakit
1.      Definisi
Trauma pada tulang belakang (spinal cors injury) adalah cedera yang mengenai servikal, vertebralis, dan lumbalis dari suatu trauma yang mengenai tulang belakang (Mutttaqin, 2008).
Cidera tulang belakang adalah cidera mengenai cervicalis, vertebralis dan lumbalis akibat trauma; jatuh dari ketinggian, kecelakakan lalu lintas, kecelakakan olah raga dan sebagainya yang dapat menyebabkan fraktur atau pergeseran satu atau lebih tulang vertebra sehingga mengakibatkan defisit neurologi (Sjamsuhidayat, 1997).
Spinal cord injury merupakan trauma pada medulla spinalis yang merupakan susunan saraf pusat yang terletak di dalam kanalis vertebra dan menjulur dari foramen magnum ke bagian atas region lumbalis, trauma dapat bervariasi dari trauma ekstensi fiksasi ringan yang terjadi akibat benturan secara mendadak sampai yang menyebabkan transeksi lengkap dari medulla spinal dengan quadriplegia.
Trauma spinal adalah injuri/cedera/trauma yang terjadi pada spinal, meliputi spinal collumna maupun spinal cord, dapat mengenai elemen tulang, jaringan lunak, dan struktur saraf pada cervicalis, vertebralis dan lumbalis akibat trauma berupa jatuh dari ketinggian, kecelakaan lalu lintas, kecelakaan olah raga, dan sebagainya. Trauma spinalis menyebabkan ketidakstabilan kolumna vertebral (fraktur atau pergeseran satu atau lebih tulang vertebra) atau injuri saraf yang aktual maupun potensial (Price, 2005).
Tulang belakang (vertebrae) adalah tulang yang memanjang dari leher sampai ke selangkangan. Tulang vertebrae terdiri dari 33 tulang, antara lain: 7 buah tulang servikal, 12 buah tulang torakal, 5 buah tulang lumbal, 5 buah tulang sacral. Diskus intervertebrale merupakan penghubung antara dua korpus vertebrae. Sistem otot ligamentum membentuk jajaran barisan (aligment) tulang belakang dan memungkinkan mobilitas vertebrae. Di dalam susunan tulang tersebut terangkai pula rangkaian syaraf-syaraf, yang bila terjadi cedera di tulang belakang maka akan mempengaruhi syaraf-syaraf tersebut (Mansjoer, Arif, et al. 2000)


2.      Anatomi Fisiologi
Medula spinalis dan batang otak membentuk struktur continue dari hemisfer serebral dan memberikan tugas sebgai penghubung otak dan saraf perifer, seperti kulit dan otot. Panjangnya kira-kira 45 cm dan menipis pada jari-jari (Smeltzer, 2001).  
Medula spinalis tersusun dari 33 segmen yaitu 7 segmen servikal, 12 torakal, 5 lumbal, 5 sakral, dan 5 segmen koksigis. Medulla spinalis mempunyai 31 pasang saraf spinal, masing-masing segmen mempunyai satu untuk setiap sisi tubuh.       
Columna Vertebralis atau rangkaian tulang belakang adalah sebuah struktur lentur yang dibentuk oleh sejumlah tulang yang disebut vertebra atau ruas tulang belakang, berfungsi melindungi medulla spinalis dan menunjang berat kepala serta batang tubuh, yang diteruskannya ke tulang paha dan tungkai bawah. Masing-masing tulang dipisahkan oleh disitu intervertebralis atau bantalan tulang belakang. Panjang rangkaian tulang belakang pada orang dewasa dapat mencapai 57-67 cm. Medula spinalis yang keluar dari foramen intervertebralis dikelompokkan dan dinamai sesuai dengan daerah yang ditempatinya (Smeltzer, 2001).
Struktur medulla spinalis, dikelilingi oleh meningen, arakhnoid, dan pia mater. Diantara durameter dan kanalis vertebralis terdapat ruang epidural. Medulla spinalis berbentuk seperti huruf H dengan badan sel saraf (substansia grisea) dikelilingi traktus asenden dan desenden (substansia alba). Bagian yang membentuk H meluas dari bagian atas dan bersamaan menuju bagian tanduk anterior (anterior horn). Keadaan tanduk-tanduk ini berupa sel-sel yang mempunyai serabut-serabut, yang membentuk ujung akar anterior (motorik) dan berfungsin untuk aktivitas yang disadari dan aktivitas reflex dari otot-otot yang berhubungan dengan medulla spinalis. Bagian posterior yang tipis (upper horn) mengandung sel-sel berupa serabut-serabut yang masuk ke ujung akar posterior (sensorik) dan kemudian bertindak sebagai relay station dalam jaras reflex/sensorik. Vertebralis dikelompokkan sebagai berikut:

a.       Vetebra Cervicalis
Vertebrata cervicalis ini memiliki dens, yang mirip dengan pasak.Veterbrata cervicalis ketujuh disebut prominan karena mempunyaiprosesus spinosus paling panjang
b.      Vertebra Thoracalis
Ukurannya semakin besar mulai dari atas kebawah. Corpus berbentuk  jantung, berjumlah 12 buah yang membentuk bagian belakang thorax



c.       Vertebra Lumbalis
Corpus setiap vertebra lumbalis bersifat masif dan berbentuk ginjal,berjumlah 5 buah yang membentuk daerah pinggang, memiliki corpusvertebra yang besar ukurnanya sehingga pergerakannya lebih luaskearah fleksi
d.      Os. Sacrum
Terdiri dari 5 sacrum yang membentuk sakrum atau tulang kengkangdimana ke 5 vertebral ini rudimenter yang bergabung yang membentuk tulang bayi
e.       Os. Coccygeal
Terdiri dari 4 tulang yang juga disebut ekor pada manusia, mengalamirudimenter. Beberapa segmen ini membentuk 1 pasang saraf coccygeal (Price, 2005)

Medula spinalis adalah bagian dari susunan saraf pusat yang seluruhnya terletak dalam kanalis vertebralis, dikelilingi oleh tiga lapis selaput pembungkus yang disebut meningen. Lapisan-lapisan dan struktur yang mengelilingi medula spinalis dari luar ke dalam antara lain:
  1. Dinding kanalis vertebralis (terdiri atas vertebrae dan ligamen)
  2. Lapisan jaringan lemak (ekstradura) yang mengandung anyaman pembuluh-pembuluh darah vena
1)      Duramater
2)      Arachnoid
3)      Ruangan subaraknoid (cavitas subarachnoidealis) yang berisi liquor cerebrospinalis
4)      Piamater, yang kaya dengan pembuluh-pembuluh darah dan yang langsung membungkus permukaan sebelah luar medula spinalis

Lapisan meningen terdiri atas pachymeninx (duramater) dan leptomeninx (arachnoid dan piamater). Pada masa kehidupan intrauterin usia 3 bulan, panjang medula spinalis sama dengan panjang kanalis vertebralis, sedang dalam masa-masa berikutnya kanalis vertebralis tumbuh lebih cepat dibandingkan medula spinalis sehingga ujung kaudal medula spinalis berangsur-angsur terletak pada tingkat yang lebih tinggi. Pada saat lahir, ujung kaudal medula spinalis terletak setinggi tepi kaudal corpus vertebrae lumbalis II. Pada usia dewasa, ujung kaudal medula spinalis umumnya terletak setinggi tepi kranial corpus vertebrae lumbalis II atau setinggi discus intervertebralis antara corpus vertebrae lumbalis I dan II. Terdapat banyak jalur saraf (tractus) di dalam medula spinalis. Jalur saraf tersebut dapat dilihat pada gambar di berikut.


Pada sumsum tulang belakang terdapat dua penebalan, servikal danlumbal. Dari penebalan ini, plexus-plexus saraf bergerak guna melayani anggotabadan atas dan bawah dan plexus dari daerah thorax membentuk saraf-saraf interkostalis. Fungsi sumsum tulang belakang adalah mengadakan komunikasiantara otak dan semua bagian tubuh dan bergerak refleks. Untuk terjadinya gerakan refleks, dibutuhkan struktur sebagai berikut:
a.       Organ sensorik: menerima impuls, misalnya kulit-kulit
b.      Serabut saraf sensorik: mengantarkan impuls-impuls tersebut menujusel-sel dalam ganglion radix posterior dan selanjutnya menujusubstansi kelabu pada kornu posterior mendula spinalis


c.       Sumsum tulang belakang, dimana serabut-serabut saraf penghubung, mengantarkan impuls-impuls menuju kornu anterior medula spinalis
d.      Sel saraf motorik: dalam kornu anterior medula spinalis yangmenerima dan mengalihkan impuls tersebut melalui serabut sel
e.       Organ motorik yang melaksanakan gerakan karena dirangsang olehimpuls saraf motorik
f.       Kerusakan pada sumsum tulang belakang khususnya apabila terputuspada daerah torakal dan lumbal mengakibatkan (pada daerah torakal)paralisis beberapa otot interkostal, paralisis pada otot abdomen danotot-otot pada kedua anggota gerak bawah, serta paralisis sfinker padauretra dan rektum

3.      Etiologi
Penyebab dari cedera medulla spinalis menurut Batticaca (2008), antara lain:
a.       Kecelakaan di jalan raya (paling sering terjadi)
Kecelakaan jalan raya adalah penyebab terbesar, hal mana cukup kuat untuk merusak kord spinal serta kauda ekuina
b.      Olahraga
c.       Menyelam pada air yang dangkal
d.      Luka tembak atau luka tikam
e.       Ganguan lain yang dapat menyebabkan cedera medulla spinalis seperti spondiliosis servikal dengan mielopati, yang menghasilkan saluran sempit dan mengakibatkan cedera progresif terhadap medulla spinalis dan akar; mielitis akibat proses inflamasi infeksi maupun non-infeksi; osteoporosis yang disebabkan oleh fraktur kompresi pada vertembra; tumor infiltrasi maupun kompresi; dan penyakit vascular

4.      Patofisiologi
Kerusakan medulla spinalis berkisar dari kamosio sementara (pasien sembuh sempurna) sampai kontusio, laserasi dan kompresi substansi medulla, (lebih salah satu atau dalam kombinasi) sampai transaksi lengkap medulla (membuat pasien paralisis). Bila hemoragi terjadi pada daerah medulla spinalis, darah dapat merembes ke ekstradul subdural atau daerah suaranoid pada kanal spinal, segera sebelum terjadi kontusio atau robekan pada cedera, serabut-serabut saraf mulai membengkak dan hancur. Sirkulasi darah ke medulla spinalis menjadi terganggu, tidak hanya ini saja tetapi proses patogenik menyebabkan kerusakan yang terjadi pada cidera medulla spinalis akut.
Hubungan pelepasan neurotransmiter terhadap cedera seluler telah diteliti baik pada cedera kepala maupun cedera spinal. Kebanyakan penyelidikan awal terpusat pada turunan asam amino eksitasi yaitu glutamat dan aspartat. Terdapat pelepasan dramatis glutamat dan aspartat hingga 6 kali kadar normal, dimana konsentrasi ini cukup untuk membunuh neuron. Hal ini dapat terjadi hingga 1 jam setelah cedera. Perbedaan peningkatan spesies asam amino mendukung bahwa aktivitas neuron lebih berperan daripada lisis sel. Berbagai model telah menunjukkan disfungsi ekstremitas dapat terjadi ketika cord terpapar asam amino eksitasi.
Beberapa tipe reseptor kemungkinan berperan pada cedera sekunder pada spinal cord, termasuk reseptor kainate dan quisqualate, yang mengontrol saluran untuk sodium (natrium) influx dan potassium (kalium) efflux, serta reseptor N-methyl-D-aspartate (NMDA) yang memiliki saluran untuk natrium dan kalium dan saluran untuk calcium influx. Akumulasi kalsium intraseluler dengan kalium efflux telah diamati pada pada SCI eksperimental. Awal dari pembengkakan neuron berhubungan dengan natrium influx, dimana dimana disintegrasi neuron disebabkan oleh calcium influx. Baik antagonis kompetitif seperti 3-(2-carboxypiperazin-4-yl)-propyl-1-phosphoric acid dan aminophosphoheptanoates, serta antagonis nonkompetitif seperti phencyclidine, ketamin, magnesium, dextrorphan, dan MK-801 telah menunjukkan dapat menurunkan cedera neurologis sekunder. 
Substansi lain yang berperan adalah peptida opioid. Dynorphin, beta-endorphin, leu-enkephalin, dan met-enkephalin bersifat aktif pada reseptor kappa, mu, dan delta. Opiat berhubungan dengan hipotensi yang terjadi setelah SCI. Perawatan dengan obat yang dapat bekerja sebagai antagonis opiat menghasilkan fungsi yang lebih baik.
Mekanisme selanjutnya pada cedera sekunder melibatkan aktivasi membrane phospholipase, yang berakibat pada hidrolisis fosfolipid, bebasnya asam arakidonat dan asam lemak lain dari membran sel. Aktivitas enzimatik oleh siklooksigenase terhadap asam ini memproduksi peroksida lipid, sedangkan aktivitas enzimatik oleh lipooksigenase memproduksi leukotrien dan prostanoid. Lebih spesifik, level tromboksan A2 meningkat sesaat setelah terjadi SCI eksperimental, dimana rasio tromboksan terhadap prostasiklin meningkat abnormal hingga 18 jam. Ketidakseimbangan ini dapat menyebabkan cedera sekunder oleh karena terbatasnya perfusi jaringan. Faktanya, pada model eksperimental aliran darah pada spinal cord terukur pada 40-54% terhadap level kontrol. Penggunaan steroid dan analognya dapat meningkatkan pemulihan, kemungkinan berhubungan dengan inhibisi oleh substansi tersebut terhadap peroksidasi lipid atau supresinya terhadap pelepasan asam amino eksitasi. Klasifikasi cedera medulla spinalis berdasarkan lokasi cedera, antara lain:

a.       Cedera Cervikal
·         Lesi C1-C4
Pada lesi C1-C4, otot trapezius, sternomastoideus, dan otot platisma masih berfungsi. Otot diafragma dan interkostal mengalami paralisis dan tidak ada gerakan volunter (baik secara fisik maupun fungsional). Di bawah transeksi spinal tersebut. Kehilangan sensori pada tingkat C1-C3 meliputi oksipital, telinga dan beberapa daerah wajah. Pasien pada quadriplegia C1, C2 dan C3 membutuhkan perhatian penuh karena ketergantungan terhadap ventilator mekanis. Orang ini juga tergantung semua aktivitas kebutuhan sehari-harinya. Quadriplegia pada C4 mungkin juga membutuhkan ventilator mekanis tetapi dapat dilepas. Jadi penggunaannya secara intermitten saja

·         Lesi C5
Bila segmenC5 medulla spinalis mengalami kerusakan, fungsi diafragma rusak sekunder terhadap edema pascatrauma akut. Paralisis intestinal dan dilatasi lambung dapat disertai dengan depresi pernafasan. Quadriplegia pada C5 biasanya mengalami ketergantungan dalam melakukan aktivitas seperti mandi, menyisir rambut, mencukur, tetapi pasien mempunyai koordinasi tangan dan mulut yang lebih baik

·           Lesi C6
Pada lesi segmen C6, distress pernafasan dapat terjadi karena paralisis intestinal dan edema asenden dari medulla spinalis. Biasanya akan terjadi gangguan pada otot bisep, triep, deltoid dan pemulihannya tergantung pada perbaikan posisi lengan. Umumnya pasien masih dapat melakukan aktivitas higiene secara mandiri, bahkan masih dapat memakai dan melepaskan baju

·           Lesi C7
Lesi medulla pada tingkat C7 memungkinkan otot diafragma dan aksesoris untuk mengkompensasi otot abdomen dan interkostal. Fleksi jari tangan biasanya berlebihan ketika kerja refleks kembali. Quadriplegia C7 mempunyai potensi hidup mandiri tanpa perawatan dan perhatian khusus. Pemindahan mandiri, seperti berpakaian dan melepas pakaian melalui ekstrimitas atas dan bawah, makan, mandi, pekerjaan rumah yang ringan dan memasak



·         Lesi C8
Hipotensi postural bisa terjadi bila pasien ditinggikan pada posisi duduk karena kehilangan control vasomotor. Hipotensi postural dapat diminimalkan dengan pasien berubah secara bertahap dari berbaring ke posisi duduk. Jari tangan pasien biasanya mencengkram. Quadriplegia C8 harus mampu hidup mandiri, mandiri dalam berpakaian, melepaskan pakaian, mengemudikan mobil, merawat rumah, dan perawatan diri

b.      Cedera Torakal
·           Lesi T1-T5
Lesi pada region T1-T5 dapat menyebabkan pernafasan dengan diafragmatik. Fungsi inspirasi paru meningkat sesuai tingkat penurunan lesi pada toraks. Hipotensi postural biasanya muncul. Timbul paralisis parsial dari otot adductor pollici, interoseus, dan otot lumrikal tangan, seperti kehilangan sensori sentuhan, nyeri, dan suhu

·           Lesi T6-T12
Lesi pada tingkat T6 menghilangkan semua refleks adomen. Dari tingkat T6 ke bawah, segmen-segmen individual berfungsi, dan pada tingkat 12, semua refleks abdominal ada. Ada paralisis spastik pada tubuh bagian bawah. Pasien dengan lesi pada tingkat torakal harus befungsi secara mandiri. Batas atas kehilangan sensori pada lesi torakal adalah:
Ø     T2 Seluruh tubuh sampai sisi dalam dari lengan atas
Ø     T3 Aksilla
Ø     T5 Putting susu
Ø     T6 Prosesus xifoid
Ø     T7, T8 Margin kostal bawah
Ø     T10 Umbilikus
Ø     T12 Lipat paha

c.       Cedera Lumbal
·         Lesi L1-L5
Kehilangan sensori lesi pada L1-l5 yaitu:
Ø     L1 Semua area ekstrimitas bawah, menyebar ke lipat paha & bagian belakang    dari bokong
Ø     L2  Ekstrimitas bagian bawah kecuali sepertiga atas aspek anterior paha
Ø     L3  Ekstrimitas bagian bawah dan daerah sadel
Ø     L4  Sama dengan L3, kecuali aspek anterior paha
Ø     L5 Aspek luar kaki dan pergelangan kaki serta ekstrimitas bawah dan area sadel

d.      Cedera Sakral
·         Lesi S1-S6
Pada lesi yang mengenai S1-S5, mungkin terdapat beberapa perubahan posisi dari telapak kaki. Dari S3-S5, tidak terdapat paralisis dari otot kaki. Kehilangan sensasi meliputi area sadel, skrotum, dan glans penis, perineum, area anal, dan sepertiga aspek posterior paha

e.       Klasifikasi Berdasarkan Keparahan
1)      Klasifikasi Frankel:
Grade A : Motoris (-), sensoris (-)
Grade B : Motoris (-), sensoris (+)
Grade C : Motoris (+) dengan ROM 2 atau 3, sensoris (+)
Grade D : Motoris (+) dengan ROM 4, sensoris (+)
Grade E : Motoris (+) normal, sensoris (+)

2)      Klasifikasi ASIA (American Spinal Injury Association)
Grade A : Motoris (-), sensoris (-) termasuk pada segmen sacral
Grade B : Hanya sensoris (+)
Grade C : Motoris (+) dengan kekuatan otot < 3
Grade D : Motoris (+) dengan kekuatan otot > 3
Grade E : Motoris dan sensoris normal





Trauma

 
Patoflow
 








Dibebaskannya kalium (K+) intrasel & sintesis prostaglandin dan bradikinin
 
Blok saraf simpatis
 
Kelumpuhan
 
                                                                                                                                   
 

Menstimulus saraf perifer
 
Iskemia & hipoksemia fisik
 
                                                                                                                             
 















5.      Manifestasi Klinis
Manifestasi yang timbul antara lain:
a.       Bila pasien dalam keadaan sadar, biasanya mengeluh nyeri akut pada belakang leher, yang mnyebar sepanjang saraf yang terkena
b.      Cedera spinal dapat menyebabkan paraplegia atau quadriplegia

Akibat cedera bergantung pada tingkat cedera pada medulla dan tipe cedera :
a.       Tingkat neurologik: berhubungan dengan tingkat fungsi sensori dan motorik bagian bawah yang normal. Tingkat neurologic bagian bawah mengalami paralisis sensori dan motorik total, kehilangan kontrol kandeng kemih, penurunan keringat dan tonus vasomotor dan penurunan tekanan darah diawali dengan resistensi vascular perifer.
b.      Tipe cedera, mengacu pada luasnya cedera medulla spinalis itu sendiri: Masalah pernapasan basanya dikaitkan dengan penurunan fungsi peranpasan, beratnya bergantung pada tingkat cedera. Otot-otot yang berperan dalam pernapasan adalah abdominal, interkostal (T1-T11) dan diafragma. Pada cedera medulla spinalis servikal tinggi, kegagalan pernapasan akut adalah penyebab utama kematian (Smeltzer, 2001).

Manifestasi klinis berdasarkan lokasi yang mengalami trauma dan apakah trauma terjadi secara parsial atau total. Berikut ini adalah manifestasi berdasarkan lokasi trauma:
a.       Antara C1 sampai C5
Respiratori paralisis dan kuadriplegi, biasanya pasien meninggal
b.      Antara C5 dan C6
Paralisis kaki, tangan, pergelangan; abduksi bahu dan fleksi siku yang lemah;kehilangan refleks brachioradialis
c.       Antara C6 dan C7
Paralisis kaki, pergelangan, dan tangan, tapi pergerakan bahu dan fleksi sikumasih bisa dilakukan; kehilangan refleks bisep
d.      Antara C7 dan C8
Paralisis kaki dan tangan
e.       C8 sampai T1
Horner's syndrome (ptosis, miotic pupils, facial anhidrosis), paralisis kaki
f.       Antara T11 dan T12
Paralisis otot-otot kaki di atas dan bawah lutut
g.      T12 sampai L1
h.      Paralisis di bawah lutut
i.        Cauda equine
j.        Hiporeflex atau paresis extremitas bawah, biasanya nyeri dan usually pain and hyperesthesia, kehilangan control bowel dan bladder
k.      S3 sampai S5 atau conus medullaris pada L1
Kehilangan kontrol bowel dan bladder secara total. Bila terjadi trauma spinal total atau complete cord injury, manifestasi yangmungkin muncul antara lain total paralysis, hilangnya semua sensasi dan aktivitas refleks (Merck, 2010).

6.      Komplikasi
Menurut Smeltzer (2001), komplikasi yang dapat timbul dari cedera medulla spinalis yakni:
a.       Syok spinal
Syok spinal merupakan depresi tiba-tiba aktivitas reflex pada medulla spinalis (areflexia) dibawah tingkat cedera. Dalam kondidi ini otot-otot yang disarafin oleh bagian segmen medulla yang ada dibawah tingkat lesi menjadi parlisis kolplet dan flaksid dan reflex-refleks tidak ada. Tekanan darah menurun. Karena ada cedera servikal dan medulla spinalis torakal atas, pernapasan pada otot aksesorius mayor pernapasan hilang dan terjadi masalah pernapasan : penurunan kapsitas vital, retensi sekresi, peningkatan tekanan parsial karbondioksida, penururnan PO2, Kegagalan pernapasan dan edema pulmonal.
b.      Trombosis Vena Profunda
Merupaka komplikasi umum dari imobilitas dan umumnya pada pasien cedera medulla spinalis. Pasien PVT berisiko mengalami embolisme pulmonal (EP) dengan manifestasi nyeri dada pleuritis, cemas, nafas pendek, dan nilai gas darah abnormal.
c.       Komplikasi lain
Komplikasi lain dapat berupa dekubitus dan infeksi (infeksi urinarius, pernapasan, dan local pada tempat pin).

7.      Pemeriksaan Penunjang Diagnostik
Pemeriksaan penunjang yang dilakukan antara lain:
a.       X-Ray spinal
Menentukan lokasi dan jenis cedera tulang (fraktur atau dislokasi)
b.      CT Scan
Untuk menentukan tempat luka/jejas, mengevaluasi gangguan struktural
c.       MRI
Untuk mengidentifikasi kerusakan syaraf spinal, edema dan kompresi
d.      Mielografi
Untuk memperlihatkan kolumna spinalis (kanal vertebral) jika faktorpatologisnya tidak jelas atau dicurigai adannya dilusi pada ruang subarakhnoid medulla spinalis (biasanya tidak akan dilakukan setelah mengalami luka penetrasi)
e.       Foto rongent thorak
Mengetahui keadaan paru (contoh : perubahan padadiafragma, atelektasis)
f.       Pemeriksaan fungsi paru (kapasitas vital, volume tidal): mengukur volume inspirasi maksimal khususnya pada pasien dengan trauma servikal bagian bawah atau pada trauma torakal dengan gangguan pada saraf frenikus /ototinterkostal)
g.      AGD: menunjukkan keefektifan pertukaran gas dan upaya ventilasi (Batticaca, 2008).

8.      Penatalaksanaan
a.       Penatalaksanaan Medis:
Tindakan-tindakan untuk imobilisasi dan mempertahankan vertebral dalam posisi lurus:
1)      Pemakaian kollar leher, bantal psir atau kantung IV untuk mempertahankan agar leher stabil, dan menggunakan papan punggung bila memindahkan pasien
2)      Lakukan traksi skeletal untuk fraktur servikal, yang meliputi penggunaanCrutchfield, Vinke, atau tong Gard-Wellsbrace pada tengkorak
3)      Tirah baring total dan pakaikan brace haloi untuk pasien dengan fraktur servikalstabil ringan
4)      Pembedahan (laminektomi, fusi spinal atau insersi batang Harrington) untuk mengurangi tekanan pada spinal bila pada pemeriksaan sinar-x ditemui spinal tidak aktif.Tindakan-tidakan untuk mengurangi pembengkakan pada medula spinalis denganmenggunakan glukortiko steroid intravena

b.      Penatalaksanaan Keperawatan
1)      Pengkajian fisik didasarakan pada pemeriksaan pada neurologis, kemungkinan didapatidefisit motorik dan sensorik di bawah area yang terkena: syok spinal, nyeri,  perubahan fungsi kandung kemih,  perusakan fungsi seksual pada pria, pada wanita umumnya tidak terganggu fungsi seksualnya, perubahan fungsi defekasi
2)      Kaji perasaan pasien terhadap kondisinya
3)      Pemeriksaan diagnostik Pertahankan prinsip A-B-C (Airway, Breathing, Circulation)


c.       Penatalaksanaan Cedera Medulla Spinalis (Fase Akut)
1)      Tujuan penatalaksanaan adalah untuk mencegah cedera medula spinalis lebih lanjut dan untuk mengobservasi gejala perkembangan defisit neurologis
2)      Lakukan resusitasisesuai kebutuhan dan pertahankan oksigenasi dan kestabilan kardiovaskuler
3)      Farmakoterapi
·         Berikan steroid dosis tinggi (metilpredisolon) untuk melawan edema medela
4)      Tindakan Respiratori
·         Berikan oksigen untuk mempertahankan PO arterial yang tinggi
·         Terapkan perawatan yang sangat berhati-hati untuk menghindari fleksi atau eksistensileher bila diperlukan inkubasi endrotakeal Pertimbangan alat pacu diafragma (stimulasi listrik saraf frenikus) untuk pasien denganlesi servikal yang tinggi
5)      Reduksi dan Fraksi skeletal
·         Cedera medulla spinalis membutuhkan immobilisasi, reduksi, dislokasi, dan stabilisasi koluma vertebrata
·         Kurangi fraktur servikal dan luruskan spinal servikal dengan suatu bentuk traksi skeletal, yaitu teknik tong /capiller skeletal atau halo vest
·         Gantung pemberat dengan batas sehinga tidak menggangu traksi
·         Intervensi bedah = Laminektomi
Dilakukan Bila:
-        Deformitas tidak dapat dikurangi dengan fraksi
-        Terdapat ketidakstabilan signifikan dari spinal servikal
-        Cedera terjadi pada region lumbar atau torakal
-        Status Neurologis mengalami penyimpanan untuk mengurangi fraktur spinal ataudislokasi atau dekompres medulla (Diane C. Braughman, 2000).






B.     Konsep asuhan Keperawatan
1.      Pengkajian
a.       Aktifitas /Istirahat
Tanda: Kelumpuhan otot (terjadi kelemahan selama syok pada bawah lesi
   Kelemahanumum /kelemahan otot (trauma dan adanya kompresi saraf)

b.      Sirkulasi
Gejala:  Berdebar-debar, pusing saat melakukan perubahan posisi
Tanda:  Hipotensi,  Hipotensi posturak, bradikardi, ekstremitas dingin dan pucat

c.       Eliminasi
Tanda:  Retensi urine, distensi abdomen, peristaltik usus hilang, melena, emisis berwarna seperti kopi tanah / hematemesis

d.      Integritas Ego
Gejala:  Menyangkal, tidak percaya, sedih, marah
Tanda:  Takut, cemas, gelisah, menarik diri

e.       Makanan /cairan
Tanda:  Mengalami distensi abdomen, peristaltik usus hilang (ileus paralitik)

f.       Higiene
Tanda:  Sangat ketergantungan dalam melakukan aktifitas sehari-hari (bervariasi)

g.      Neurosensori
Gejala : Kebas, kesemutan, rasa terbakar pada lengan atau kaki, paralisis flaksid
Tanda :
·             Kelumpuhan, kelemahan (kejang dapat berkembang saat terjadi perubahan pada syok spinal)
·             Kehilangan sensasi (derajat bervariasi dapat kembaki normak setelah syok spinalsembuh)
·             Kehilangan tonus otot /vasomotor, kehilangan refleks /refleks asimetris termasutendon dalam
·             Perubahan reaksi pupil, ptosis, hilangnya keringat bagian tubuh yangterkena karena pengaruh trauma spinal

h.      Nyeri /Kenyamanan
Gejala: Nyeri atau nyeri tekan otot, hiperstesia tepat di atas daerah trauma.
Tanda: Mengalami deformitas, postur, nyeri tekan vertebral

i.        Pernapasan
Gejala: Nafas pendek, kekeurangan oksigen, sulit bernafas
Tanda : Pernapasan dangkal /labored, periode apnea, penurunan bunyi napas, ronki, pucat, sianosis

j.        Keamanan
Gejala:  Suhu yang berfluktasi (suhu tubuh ini diambil dalam suhu kamar)

k.      Seksualitas
Gejala :  Keinginan untuk kembali berfunfsi normal
Tanda:  Ereksi tidak terkendali (priapisme), menstruasi tidak teratur (Bastticaca, 2008).

2.      Diagnosa Keperawatan
a.       Ketidakefektifan pola pernapasan yang berhubungan dengan kelemahan atau paralisisotot-otot abdomen dan intertiostal dan ketidakmampuan untuk membersihkan sekresi
b.      Nyeri yang berhubungan dengan kompresi akar saraf servikal, spame oto servikal sekunder dari cidera spina stabil dan tidak stabil
c.       Kerusakan mobilitas fisik yang berhubungan dengan gangguan neurovascular
d.      Resiko terhadap kerusakan integritas kulit yang berhubungan dengan penurunan immobilitas, penurunan sensorik

3.      Intervensi Keperawatan
a.  Ketidakefektifan pola pernapasan yang berhubungan dengan kelemahan atau paralisis otot- otot abdomen dan intertiostal dan ketidakmampuan untuk membersihkan sekresi.
Tujuan: Dalam waktu 2x 24 jam pola nafas kemabali efektif
Kriteria Hasil: RR dalam bats normal (12-20 x/mnt), tidak ada tanda-tanda sianosis, analisa gas darahdalam batas normal, pemeriksaan kapasitas paru normal
Intervensi
Rasionalisasi
1)   Observasi fungsi pernapasan, catat frekuensi pernapasan, dispnea, atau perubahan tanda-tanda vital
Distress pernapasan dan perubahan tanda vital terjadi akibat stress fisiologi dapat menunjukkan terjadinya spinal syok
2)   Pertahankan perilaku tenang, bantu klien untuk kontrol diri dengan menggunakan pernapasan lebih lambat dan dalam
Membantu klien mengalami efek fisiologi hipoksia, yang dapat dimanifestasikan sebagai ketakutan
3)   Pertahankan jalan nafas; posisi kepala tanpa gerak
Membantu mencegah aspirasi/ mempertahankan jalan nafas
4)   Observasi warna kulit
Menggambarkan adanya kegagalan pernapasan yang memerlukan tindakan segera
5)   Kaji distensi perut dan spasme otot
Kelainan penuh pada perut disebabkan karena kelumpuhan diafragma
6)   Lakukan pengukuran kapasitas vital, kekeuatan pernapasan
Menentukan fungsi-fungsi otot pernapasan, medeteksi adanya kegagalan pernapasan
7)   Pantau Analisa Gas Darah (AGD)
Untuk mengetahui adanya kelainan fungsi pertukaran gas sebagai contoh hiperventilasi PaO2  rendah dan PaCo2 meningkat
8)   Berikan oksigen dengan cara yang tepat
Metode dipilih sesuai dengan keadaan isufisiensi pernapasan
9)   Letakkan kantung resusitasi di samping tempat tidur dan manual ventilasi sewaktu-waktu dapat digunakan
Berguna mempertahankan fungsi pernapsan jika terjadi gangguan pada alat ventilator secra mendadak.

b.     Nyeri yang berhubungan dengan kompresi akar saraf servikal, spame oto servikal sekunder dari cidera spina stabil dan tidak stabil
Tujuan: Dalam waktu 1x24 jam diharapkan nyeri berkurang/hilang atau beradaptasi
Kriteria Hasil: Secara subjektif melaporkan nyeri berkurang atau dapat diadaptasi, skala nyeri 0-4, dapat mengidentifikasi aktivitas yang menurunkan atau meningkatkan nyeri
Intervensi
Rasionalisasi
1)   Jelaskan dan bantu klien dengan tindakan pereda nyeri nonfarmakologi dan non-ivasif
Pendekatan dengan menggunakan relaksasi dan nonfarmakologi lainya telah menunjukkan keefektifan dalam mengurangi nyeri
2)   Istirahatkan leher, atir posis fisiologis dan pasang ban leher
Posisi fifiologis akan menurunkan kompresi saraf leher, pemasangan fiksasi kolar servikal dapat menjaga kestabilan dalam melakukan mobilisasi leher.
3)   Lakukan massase pasa sekitar otot leher, tetapi tidak pada bagian yang sakit
Meningkatkan aliran darah dan memebatu suplai darah dan oksigen ke area nyeri leher akibat spasme otot
4)   Ajarkan teknik relaksasi nafas dalam pada saat nyeri muncul
Meningkatkan asupan oksigen sehingga akan menurunkan nyeri sekunder dari iskemia
5)   Memanajemen lingkungan : lingkungan yang tenag dan batasi pengunjung
Lingkungan tenag akan menurunkan stimulus nyeri eksternal dan menganjurkan klien beristirahat dan pembatasan pengunjung akan memebantu meningkatkan oksigen dalam ruangan
6)   Ajarkan teknik distraksi pada saat nyeri
Mengalihkan nyeri dengan peningkatan produksi hormone endorphin dan enkefalin yang dapat memblok nyeri
7)   Tingkatkan pengetahuan tentang penyebab dan menghubungkan berapa lama nyeri akan berlangsung
Pengetahuan akan memebanu mengurangi nyeri.
8)   Kolaborasi dalam pemberian analgetik
Membantu menurnkan nyeri

c.    Kerusakan mobilitas fisik yang berhubungan dengan gangguan neurovascular
Tujuan: Dalam waktu 3x 24 jam klien mampu mobilisasi secara perlahan maupun mandiri.
Kriteria Hasil: Tidak ada kontraktur otot, tidak ada ankilosis sendi, dan tidak ada penyusutan otot
Intervensi
Rasionalisasi
1)   Kaji fungsi motorik dan sensorik dengan mengobservasi setiap ekstremitas secara terpisah dengan kekuatan dan gerakan otot, serta respon terhadap rangsangan
Lobus frontal dan parietal berisi saraf-saraf yang mengatur fungsi motorik dan sensorik dan dapat dipengaruhi ileh ik=skemia dan peningkatan tekanan darah
2)   Ubah posisi setiap 2 jam
Mencegah terjadinya luka tekan akibat tidur terlalu lama pada satu sisi sehingga tertekan dan kekurangan nutrisi yang dibawa oleh oksigen
3)   Lakukan latihan secara teratur dan letakkan telapak kaki klien di lantai saat duduk di kursi atau papan penyangga saat tidur di tempat tidur
Mencegah deformitas dan komplikasi seperti foodrop
4)   Topang kaki saat mengubah posisi dengan meletakkan bantal di satu sisi saat membalik klien
Dapat terjadi dislokasi panggung jika meletakkan kaki terkulai dan jatuh
5)   Jaga lengan dalam posisi sedikit fleksi
Mencegah kontraktur fleksi
6)   Lakukan latihan gerakan berpindah (ROM) 4x sehari
Lengan dapat menyebabkan ketidakseimbangan sehingga perlu dibantu untuk keselamatan dan keamanan

d.   Resiko terhadap kerusakan integritas kulit yang berhubungan dengan penurunanimmobilitas, penurunan sensorik
Tujuan: Dalam waktu 2x 24 jam diharapkan kerusakan integitas kulit tidak terjadi, perbaikan integritas kulit
Kriteria Hasil: Kemerahan tidak ata, dekubitus tidak ada
Intervensi
Rasionalisasi
1)   Kaji faktor resiko terjadinya gangguan integritas kulit
Salah satunya yaitu immobilisasi, hilangnya sensasi, Inkontinensia bladde/bowel
2)   Kaji keadaan pasien setiap 8 jam
Mencegah lebih dini terjadinya dekubitus
3)   Gunakan tempat tidur khusus (dengan busa)
Mengurangi tekanan
4)   Pertahankan kebersihan dan kekeringan tempat tidur dan tubuh pasien
Lingkungan yang lembab dan kotor mempermudah terjadinya kerusakan kulit
5)   Lakukan perawatan kulit pada daerah yang lecet / rusak setiap hari
Mempertahankan integritas kulit dan proses penyembuhan
6)   Kaji status nutrisi pasien dan berikan makanan dengan tinggi
Mempercepat penyembuhan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar